#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#
Yaaah.. itulah hidup yang kurasa bagaikan mimpi. Sekejap terjadi begitu saja.. Banyak hal yang tidak bisa kubayangkan dengan akal sehat. Perjalanan ke tanah suci yang kulalui dimulai tanggal 5 November - 17 Desember 2010 sungguh di luar akal sehatku. Bermula dari keinginan yang terbesit kuat saat mendapatkan materi Haji di Halaqah tahun 2007. Selang waktu berlalu,2008 ibuku menawariku untuk membuka tabungan Haji. Aku sih.. fine2 aja, entah kapan aku berangkat, yang penting nabung dulu, ya iya fine2 saja orang ditraktir ibu, he he.
Waktu itu aku beranggapan bahwa mungkin aku akan pergi Haji nanti setelah berkeluarga. Eh, ternyata anggapan itu meleset. Berawal sebelum keberangkatan Ayah dan Ibu ke tanah suci, ibuku segera memenuhi 20 juta agar mendapat kursi di pesawat. Saat itu belum musim yang namanya Dana Talangan Haji, sehingga tidak ada daftar tunggu yang lama jika dibandingkan saat mendaftar baru-baru ini. Wuah.. antriannya sampai lima tahun. Kasihan ya..yang sudah sepuh, keburu rindu tuh dengan Ka'bah.
Nah, setelah porsi kursi bisa didapat. Ibuku menyarankan aku agar segera mengurus administrasi dan pendaftaran Haji. Okelah..nanti pas Bapak/Ibu sudah berangkat. Saat itu mengurusi persiapan Bapak/Ibu berangkat Haji dulu.
Tibalah saat Ayah/Ibu berangkat. Setelah mengantar keberangkatan mereka aku pulang ke rumah. Berarti aku aku hanya tinggal berdua dengan adik laki-laki. Hmm... ada rasa senang ditinggal sebulan oleh Bapak/Ibu he he aku ingin merasakan hidup nge-kost. Ingin merasakan saat kuliah, cari makan sendiri, mengatur keuangan (jatah uang saku), bersosialisasi dengan tetangga lebih intens ketimbang saat ada orang tua plus mengurusi adikku yang saat itu sedang duduk di kelas 1 SMK. Wah..wah.. ternyata puyeng juga ya..tapi nikmat dan puas bisa hidup mandiri.. Yes aku bisa..meskipun dengan banyak kekurangan, ada ribut-ribut kecil dengan adik di tengah-tengah pekerjaan rumah yang menumpuk, si adik ga membantu. Tuing2. Oo.. beginilah rasanya jadi ibu rumah tangga.:p
Ups..lanjut ke episode yang menentukan keberangkatanku ku tanah suci. Beberapa hari setelah keberangkatan Bapak dan Ibu. Aku mengurus administrasi ke Kementrian Agama Kota Tegal yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan.
Harmoni Kehidupan
Sebuah Ketenangan dan Keseimbangan yang Diharapkan
Jumat, 04 Desember 2020
Jumat, 27 November 2020
Profesional Menjadi Orang Tua
Akhir November 2020 ini sayang sekali jika terlewat begitu saja. Pasalnya bulan November lebih tepatnya tanggal 11 November 2012 adalah tanggal pernikahan kami. Maka sudah delapan tahun kami menjalani rumah tangga ini. Masa perkenalan, penyesuaian dan penyatuan pola pikir di lima tahun pertama sudah kami lewati. Alhamdulillah... Pyuuuf... Penuh perjuangan pastinya.
Apalagi belum genap setahun menikah tepatnya 18 September 2013 Allah mengamanahi kami berdua dengan kehadiran putri kembar penyejuk hati. Antara senang dan huaaah... cobaan dalam merawat bayi kembar sungguh menguras emosi, tenaga, maupun finansial. Namun, sungguh saat ini kami menuai buah yang manis. Seakan-akan dua tahun merawat bayi, mengASI berlalu singkat begitu saja. Saat ini mereka sudah duduk
di bangku kelas 1 SD.
di bangku kelas 1 SD.
11 November kemarin tidak jauh beda dengan hari-hari biasanya karena bertepatan dengan hari Jum'at dimana suami ada jadwal ngajar sampai malam, sehingga perayaan delapan tahun pernikahan kami undur keesokan harinya, biasaaa makan-makan.
Nah, menyoal menjadi orang tua. Fokus kami saat ini adalah bagaimana menjadi orang tua yang profesional. Maksudnya adalah memisahkan persoalan pribadi kami antara peran sebagai suami dan istri dengan pekerjaan tim kami sebagai ayah dan ibu. Karena mendidik anak tidak bisa sendiri seperti cara kita membuatnya kan.. he he. Sebisa mungkin jika kita sedang ada masalah berdua maka tidak bertengkar di depan anak, kemudian tidak pula menjelekkan salah satu pihak di depan anak. Itu akan menjatuhkan harga diri salah satu pasangan di hadapan anak. Anak menjadi tidak patuh dengan siapa pun di antara kedua orang tuanya. Dan itu sungguh sangat berbahaya di era digital ini. Yang mana Google Asistant siap sedia menemani pengguna smartphone. Bayangkan jika anak kita sering dimarahi oleh ayah atau ibunya kemudian tidak ada figur yang dekat dengannya maka dengan amat mudah anak akan bertanya apa pun kepada Mbah Google.
Yup. Profesional menjadi orang tua bukan melulu karena istri diberi jatah belanja yang banyak oleh suami, atau sebaliknya suami mendapatkan pelayanan prima dari sang istri. Namun, profesional menjadi orang tua adalah menempatkan urusan pendidikan dan pengasuhan anak pada prioritas yang utama. Agar keberadaannya sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Allah SWT di muka bumi ini.
Jumat, 30 September 2016
FLP Tegal: Guru Kehidupanku
Pembelajaran Hidup melalui FLP
Tegal
Mungkin
akan lain ceritanya kalau saja mba Fani Rosanti alias Kelopak Biru tidak
memintaku membantunya menghidupkan
kembali FLP Tegal pasca ditinggal mba Sinta Yudisia 2007 silam. Saat itu di
tahun 2009 aku tengah disibukkan dengan kuliah, menyelesaikan Skripsi, organisasi
di kampus dan menjadi pengurus sebuah
taman bacaan di Kota Tegal. Namun, apa boleh buat permintaan yang membuatku
tidak bisa menolak. Aku didaulat untuk menjadi panitia Talk Show “Menulis
Membuat Kita Kaya” tanggal 26 Juli 2009 dengan pembicara SN Ratmana (Sastrawan
angkatan Taufik Ismail ) dan Suyuti Abdul Ghofir (Wartawan Radar Tegal). Talk
Show itu diadakan untuk menarik minat peserta agar mau menjadi anggota FLP
Tegal.
Mba
Fani begitu panggilannya baru saja lulus Sarjana Sastra Indonesia Universitas
Negeri Semarang. Beliau aktif sebagai pengurus di FLP Semarang kampus UNNES
Sekaran. Setelah pulang ke Tegal, beliau mencari komunitas FLP yang konon
kabarnya ada di Tegal. Apa boleh buat ternyata vakum setelah ditinggal mba
Sinta Yudisia pindah ke Surabaya yang selaku Ketua FLP Tegal saat itu. Kepengurusan yang baru belum bisa
memaksimalkan potensi yang ada, sehingga berhentilah kegiatan pertemuan
kepenulisan yang tadinya aktif diadakan oleh mba Sinta. Mba Fani mencoba
menghubungi kembali pengurus atau anggota FLP Tegal yang dulu pernah aktif.
Pada akhirnya beliau menghubungi aku.
Awalnya
aku setengah hati membantu mba Fani menghidupkan FLP Tegal, yang penting
proposal kegiatan jadi, talk show terselenggara dengan baik, titik. Hanya itu.
Yaah, faktor ketidakenakan juga mempengaruhi. Namun, setelah talk show
terselenggara, pikiranku berubah. Ternyata ada banyak orang yang mulai tertarik
ingin bergabung dengan FLP Tegal. Dari anak-anak SMA, kuliah bahkan yang sudah
jadi guru dan PNS pun berminat
bergabung. Ada Ali Irfan yang mantan wartawan saat kuliah di Cirebon, saat itu
paling aktif bertanya saat talk show. Talk show yang dihadiri oleh 26 peserta
wanita dan 11 peserta laki-laki ini meminjam dua ruang kelas Politeknik Harapan
Bersama. Alhamdulillah beberapa orang
yang berminat bergabung dengan FLP Tegal adalah mahasiswa kampus tersebut. Pasca
talk show berlangsung diadakan pemilihan kepengurusan FLP Tegal yang baru di
pelataran pendopo Kota Tegal, kami duduk di atas rumput dan terjadilah
pemilihan itu. Ali Irfan, sang guru SDIT di Slawi yang mantan wartawan itu
mendapat suara terbanyak untuk menjadi Ketua FLP Tegal periode 2009-2011. Yang
bersangkutan pun dengan penuh percaya diri siap menjadi Ketua. Fani Rosanti
sebagai Sekretaris dan aku sebagai Bendahara.
Rapat
demi rapat pun diselenggarakan untuk menyelenggarakan pelatihan kepenulisan
rutin untuk anggota FLP Tegal. Namun, takdir berkata lain. Mba Fani akhirnya menikah akhir tahun 2009 dan harus
mengikuti suami ke Jakarta. Jadilah aku sekretaris menggantikan beliau. Hiks…
baru merintis, kok ditinggal pergi? Mau tak mau aku mengemban amanah ini. Terlintas
nama Sutono seorang penjaga toko besi yang keluar kerja demi mengikuti
pertemuan rutin FLP Tegal dan memilih menjadi loper koran. Beliau selalu hadir
di pertemuan FLP Tegal dengan menggunakan sepeda bututnya yang jaraknya
berkilo-kilo dari tempat kami kumpul. Beliau selalu datang tepat waktu dan
tidak pernah absen barang satu kali pun. Ali Irfan pun lebih jauh lagi jarak
rumahnya, meski naik sepeda motor namun selalu datang tepat waktu dan tidak
pernah absen dalam rapat maupun pertemuan FLP Tegal. Malu aku dibuatnya, aku
yang tinggal di Kota Tegal, akses kemana saja dekat dan Alhamdulillah difasilitasi orang tua sepeda motor dan komputer dibandingkan
dengan mereka belum apa-apa perjuanganku ini. Tertantanglah aku untuk terus
menggerakkan roda organisasi ini.
Kegamanganku
mengenai arah pembinaan FLP Tegal ini sedikit terobati. Hadirlah Eri Fitniati
yang baru saja lulus Sarjana Pendidikan Fisika Universitas Negeri Semarang,
beliau juga pengurus FLP Semarang. Bagaimana tidak bingung pasalnya kami: Ali
Irfan, aku dan pengurus lainnya benar-benar baru terjun di FLP. Memang sih aku
dan Sutono sudah bergabung di FLP Tegal sejak 2006, namun kami hanyalah sebagai
anggota yang kurang begitu paham arah pembinaan FLP sebagaimana mestinya.
Tercatat
dalam sejarah kepengurusan FLP Tegal periode Ali Irfan yang menjabat dua kali
berturut-turut dari 2009 sampai 2013, dimana aku menjadi sekretarisnya telah
mengadakan beberapa kegiatan. Diantaranya adalah lomba menulis dengan tema “Take Me Out Because
Allah” yang telah diselenggarakan pada bulan November 2009. Kemudian Pelatihan
Kepenulisan (Plat Pulpen) yang diadakan setiap sebulan sekali: tanggal 13 Desember 2009 dengan pembicara
Rahman Hanifan (FLP Pemalang), Tanggal 31 Januari 2010 dengan pembicara Aries
Adenata (FLP Solo Raya), tanggal 14 Pebruari 2010 dengan pembicara Sutono
Adiwerna (Cerpenis) dan seterusnya. Selain Plat Pulpen selama pertemuan di
tahun 2010 kami juga mengadakan “Bakar Sate” (Bahas Karya Sambil Telaah).
Karya-karya yang dibahas khusus untuk cerpen remaja yang target akhirnya adalah
menerbitkan sebuah buku. Alhamdulillah terbitlah
buku Antologi cerpen remaja “Akulah Pencuri Itu” yang launching di Book Fair
Slawi tanggal 11 Desember 2010.
Pada
tahun 2011 FLP Tegal dipercaya menyelenggarakan rangkaian acara Up-Grading
Wilayah Jawa Tengah. FLP Tegal juga mengadakan Talk show “Tegal Cerdas Tegal
Menulis” 08 Mei 2011, dengan pembicara Afifah Afra, Wijanarto (budayawan
Tegal), dan Tedi Kartino (Motivator).
Pada
tahun 2012 kami membuat proyek penggalangan dana dan penerbitan buku secara indie karya sastrawan teman karib Taufik
Ismail: SN. Ratmana. Pada tanggal 12 Februari 2012 adalah Launching buku
“Lolong Lelaki Lansia” dengan pembedah buku Kurnia Effendi (Cerpenis Nasional
asal Kabupaten Tegal) dan Prof. Abu Suud (Mantan Rektor UNNES). Karya terbaru
dari FLP Tegal adalah Antologi Kedasyatan Doa “Kepak Sayap Patah” terbit 2016.
Melalui
FLP Tegal aku mengenal perjuangan Sinta Yudisia dalam menjalankan FLP Tegal. Kesabaran,
ketekunan beliau untuk membina kami, mengingatkan kami bahwa menulis sejatinya
bukan untuk terkenal atau ajang gaya namun menyebarkan pemikiran yang
mencerahkan banyak orang. Yang bisa
membantu banyak orang mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Oleh karena itu ruh
penulis harus selalu dibangun dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah sang
Pemberi Ilmu.
Melalui
FLP Tegal pula aku mengenal sahabat karib sepanjang masa: Almarhum Shinta
Ardjahrie. Kami mulai berkenalan saat FLP Tegal akan menyelenggarakan Talk Show
Remaja “What About Me?” tahun 2006. Kami berboncengan sepeda mengelilingi Kota
Tegal untuk mendapatkan sponshor dari beberapa perusahaan. Pernah juga kami
menemani mba Sinta Yudisia pergi ke Bandung untuk bedah buku beliau yang
berjudul Armanusa (Mizan) di UIN Bandung. Setelah ia kuliah di Purwokerto dan
bergabung dengan FLP Purwokerto Nta panggilan akrabnya juga menjadi moderator
dalam Talk Show Tegal Cerdas, Tegal Menulis, kemudian mengkonsep dan mengeksekusi jalannya launching
buku Lolong, Lelaki Lansia karya SN Ratmana. Sahabat yang asyik diajak
berdiskusi, pemberi ide-ide brilian dan eksekutor yang baik.
Ada
sosok-sosok lain di FLP Tegal yang berkomitmen mewujudkan mimpi mereka menjadi
penulis dengan segala keterbatasan yang ada. Sutono yang menuliskan
karya-karyanya di buku setelah rapi baru pergi ke rental komputer, Sutono yang
selalu menyisihkan Rp.3000,- untuk ke warnet setiap hari. Ada juga Ali Irfan
yang telah menjadi Writerpreuner. Bermodal delapan juta ia menerbitkan bukunya
sendiri berjudul B’Right Teacher, mempunyai tim penjual dan road show bukunya.
Ada juga Puput Happy yang bergabung di FLP Tegal 9 Oktober 2009 pun telah
sukses menerbitkan beberapa buku Antologi, bahkan mempunyai penerbitan sendiri
yakni Puput Happy Publishing. Tak lupa pula Irfan Fauzi anggota yang bergabung 24
Juli 2011 dan menuliskan kisah hidupnya pada Antologi Kisah Kedasyatan Doa FLP
Tegal “Kepak Sayap Patah” berasal dari keluarga yang kurang mampu. SD sampai
SMA ia enyam di Kejar Paket, sampai akhirnya ia bisa kuliah di Politeknik
Muhammdiyah Tegal sambil bekerja. Saat ini ia telah beberapa kali memenangkan
lomba menulis cerpen.
Sungguh
armada ini (FLP Tegal) menjadi sebuah wadah pembelajaran hidup sepanjang masa yang
memantikkan potensi kami, mengakrabkan kami, mendidik kami menjadi
manusia-manusia gigih, konsisten dan pantang menyerah untuk mewujudkan mimpi
kami menjadi seorang penulis. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak
orang.
Rabu, 08 Mei 2013
Rebo, Penjahit Kaki Lima
#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#
Ada hal yang membuatku penasaran yakni sepanjang Jalan Parang Sarpo, Perumnas Tlogosari, Semarang banyak sekali penjahit yang menyediakan jasa permak baju. Mereka menggunakan sepeda yang didesain khusus untuk menempatkan mesin jahit, mereka mangkal di bawah pohon. Pemandangan ini unik menurutku. Sekian lama kurang lebih tiga tahun aku tidak mengunjungi perumahan ini.
Ini hasil wawancara yang berhasil aku rekam. Namanya Rebo, asli Purwodadi. Ia tinggal mengontrak rumah di perumnas ini. Usaha permak baju ini sudah digeluti kurang lebih 5 tahun. Modalnya hanya mesin jahit tua yang ia beli seharga Rp. 150.000. Keahlian menjahit pun dipelajarinya secara otodidak. Pendapatan bersih sehari Rp. 50.000 – 75.000, tidak membayar pegawai apalagi ongkos sewa tempat. Semuanya gratis di bawah pohon. Tarif permak per potong baju yang paling simple dikenai Rp. 7.000. Bila agak rumit bisa mencapai Rp. 10.000 – Rp. 15.000. Pendapatan ini jika berlangsung setiap hari bisa melebihi pendapatan seorang PNS golongan IIIA. Dasyatnya lagi, saat menjelang Hari raya Idul Fitri pendapatan bersih sehari bisa mencapai Rp. 300.000. Tentunya tarif permaknya pun lebih tinggi daripada hari biasa.
Meskipun berpendapatan tinggi. Pak Rebo ini tidak merasa dirinya kaya atau berkecukupan. Rumah pun masih mengontrak. Sebenarnya ia juga telah memiliki rumah di kampung Purwodadi namun itu pun pemberian orang tua. Ukuran suksesnya pun sangat sederhana yakni asal dia dan keluarga bisa makan dan berteduh itu sudah cukup. Saat aku tanya, adakah keinginan untuk memiliki toko sendiri suatu saat nanti. Ia jawab dengan tegas namun sambil bercanda bahwa seperti ini saja sudah cukup. Sebenarnya agak terkejut aku mendengarnya. Masa iya, orang tidak punya keinginan lebih untuk maju? Cukup dengan yang seperti itu? Padahal waktu cepat sekali berubah, saat ini telah masuk zaman qlobalisasi. Era persaingan ketat dengan warga Negara asing yang SDM maupun produknya telah meramaikan pasar di Indonesia. Mengikis perlahan keberadaan pasar tradisional dan memarginalkan penduduk asli.
Tidakkah ia mempunyai impian akan menjadi bos suatu saat nanti yang akan memiliki beberapa outlet permak baju ini? Ia tinggal mengawasi, dan tidak lagi bekerja keras dari pagi sampai sore seperti ini saat ia sudah tua nanti. “Ah, itu kan impianku, bukan impian bapak itu”, gumamku.
"Ya, sudah pak.Semoga lancar bisnisnya. Laris manis ya pak!” ujarku mengakhiri pembicaraan dengan beliau.
Semarang, 5 Juni 2012
Senin, 12 November 2012
11 November ( Catatan Kecil untuk Yustia Hapsari )
#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#
/10151274753236772
Jam tujuh teng saya tiba di gedung Al-Irsyad yang letaknya tak jauh dari kantor pengadilan negeri Kota Tegal. Gedung masih terlihat lenggang. Kata Mas Tedi yang sudah sampai duluan daripada saya, petugas penerima dan among tamu yang perempuan tengah di salon untuk dirias.
Selang beberapa menit kemudian teman- teman yang dimintai Yustia untuk membantu acara spesialnya berdatangan. Setelah sedikit angkat- angkat kursi, tepat jam 9.30 keluarga dari kedua mempelai beserta penghulu dan lain- lain tiba di gedung.
Beberapa menit kemudian, seremonial akad nikah Yustia Hapsari dan Muhamad Fikri Hidayatulloh berlangsung. Seperti biasanya, acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran, dilanjutkan siraman rohani dari Ustad Amirudin Lc.
Saya terharu ketika Pak Liliek Basuki, ayahanda Yustia menyampaikan pesan- pesan kepada calon menantunya, beberapa menit sebelum akad nikah, berlangsung. Adapun lima pesan dari Pak Liliek sebagai berikut. 1. Cintailah isterimu karena Allah Swt. 2. Berusahalah dengan maksimal menjemput rezeki yang halal. 3. Jauhilah yang subhat apalagi yang haram. 4. Latihlah anak- anak kalian kelak untuk mencintai dan mebaca Alqur'an. Lebih baik lagi kalau menghapalnya. 5. Janganlah fanatik terhadap satu golongan, tetapi berkomitmenlah untuk membangun dan menjalankan islam secara kaffah.
Saya tersenyum dengan mata kaca, saat kedua mempelai mulai disatukan dalam podium. Ada keharuan saat kedua mempelai saling bergandeng tangan untuk kali pertama, mencium tangan kedua orang tua masing- masing. Spontan dengan bergetar, hati saya berdoa Ya Allah berkahi keluarga ini, Ya Allah berkahi pernikahan yang baru berlangsung ini dan doa- doa lainnya.
Rabb, terimakasih untuk kurnia-Mu hari ini. Maka nikmat-Nya yang manakah yang kau dustakan..
oleh Sutono Suto
Sabtu, 27 Oktober 2012
Parodi Hati di Tanah Suci
#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#
Parodi Hati di Tanah Suci
Putri Adila dan Jaki Umam
PLANET BUMI ini bulat. Konon, hal itu telah menjadi perdebatan ribuan tahun di daratan Eropa ketika mereka dalam masa kegelapan, di bawah Gereja. Di era modern ini, aksioma itu terbukti sudah tak terbantahkan. Bahkan, manusia sekarang bisa memotret langsung kondisi planet ini dari luar angkasa.
Beberapa ilmuwan Amerika dan Eropa telah mendapatkan fakta bahwa wilayah Jazirah Arab adalah episentrum bumi, baik secara struktur maupun peradaban.
Manakala bumi di foto dari luar angkasa, Jazirah Arab selalu tampak lebih kontras dari daerah manapun, seolah ada daya tarik magnetik yang sangat besar. Apabila ditarik garis dari kutub utara sampai ke kutub selatan, kemudian dibagi garis dari kutub utara sampai titik pusat Ka’bah, maka akan diperoleh angka ajaib phi, 3.14. Hasil ini sama persis dengan rasio yang didapatkan dari tinggi setiap manusia dibagi jarak dari ujung kepala sampai pusar.
Dalam hal ini, Ka’bah terbukti telah menjadi pusat bumi secara struktur, sementara pusar adalah pusat tubuh manusia secara struktur.
Sejak masa permulaan, Ka’bah dan Tanah Haram memang tercatat telah menjadi asal-mula peradaban. Nabi Adam pertama kali membangun Ka’bah, bertemu Siti Hawa di Padang Arafah setelah keduanya terpisah hampir setengah millenium. Kedua manusia pertama ini beranak-pinak dari situ, kemudian menyebar ke segala penjuru.
Tongkat estafet kemudian dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim. Beliau membangun ulang Ka’bah dan Tanah Haram, dan meninggalkan Nabi Ismail beranak-pinak di sekitarnya. Keturunan Ismail-lah yang kemudian menjadi pemegang peradaban selanjutnya.
Episode paling dasyat dari Ka’bah dan Tanah Haram bermula dari masa Rasulullah, 14 abad silam. Beliau-lah yang membangun pelita agama, ilmu, dan kearifan dari salah satu sudutnya, dan menjalar ke seluruh penjuru dunia. Sampai saat ini pun kharisma pusat dunia-nya belum pudar dan aku yakin tidak akan pernah pudar.
Sekarang, aku berada di salah satu titik Tanah Haram, di dalam maktab1 jamaah haji Indonesia. Aku berada hanya beberapa ratus meter dari Ka’bah, pusat bumi itu. Perasaan haru, bangga, dan kagum menggulung-gulung dalam dadaku, bak tsunami Aceh enam tahun lalu. Aku betul-betul terpelanting dalam pusaran energi yang begitu besar. Egoku runtuh, kemanusiaanku luluh.
Malam itu, puluhan orang dalam maktabku tampak sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing, tilawah, zikir, dan membaca buku. Ada pula yang sedang berkemas-kemas untuk pulang. Kami telah menyelesaikan Wukuf di Padang Arafah empat hari yang lalu. Itu berarti kami telah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji.
Aku terduduk lesu di sisi tempat tidurku, memutar kembali memori-memoriku. Aku tak bisa membayangkan, aku bisa sampai di sini dan menunaikan rukun kelima agama dalam usiaku yang baru 23 tahun.
Berada di tanah suci bagaikan berada di alam mimpi. Semua terjadi serba-cepat dan tidak ada rutinitas yang menjemukan. Yang ada hanya shalat, memperbanyak tilawah, jalan-jalan, belanja, membeli barang-barang yang dibutuhkan ataupun yang diinginkan. Bagaikan mimpi juga karena semuanya terjadi begitu cepat, tepat sesuai prasangkaku. Ibarat kata, siang ini aku ingin sesuatu, lalu di waktu sore Allah mengabulkannya. Amazing!
Banyak peristiwa terjadi selama di tanah suci yang menyangkut doa dan krenteging ati2. Allah sungguh sesuai prasangka hamba-Nya. Apa yang diminta hamba-Nya, entah baik atau buruk, pasti Allah mengabulkan. Itulah yang kadang membuatku heran dan istighfar harus segera terucap sesaat setelah aku sadar telah melakukan kekhilafan. Aku senantiasa berusaha membersihkan hati agar aku selalu membuat prasangka yang baik-baik saja. Di sini, Allah dekat sekali. Jangan membuat parodi yang tak penting bahkan kalaupun itu dilakukan hanya dalam hati.
Aku ingat kejadian beberapa hari lalu saat melaksanakan Tawaf Ifadhah. Salah satu rukun Haji, setelah melaksanakan Wukuf di Arafah dan Lempar Jumrah di Mina.
Pagi itu sekitar pukul 10.00 WSA3, dr.Wahidin, Ibu Nanik, dan aku bergerak menuju Masjid Al-Haram. Terjadi sesuatu yang membuatku yakin bahwa di tanah suci memang harus hati-hati dalam berucap dan berpikir.
Biasanya ketika sampai di Masjid Al-Haram, sandal dimasukkan ke dalam tas kresek dan dibawa saat aktivitas di dalam masjid. Tempat penitipan sandal pun ada, semacam loker khusus sandal dan sepatu. Saat itu kami menitipkan sandal di situ. Tak sengaja hatiku berkata: jangan-jangan nanti sandalku hilang. Sedikit sekali kalimat itu terbersit.
Kami kemudian masuk melalui Bab Al-Salam4, pintu utama Masjid Al-Haram yang sangat favorit bagi jamaah haji. Kami bertiga langsung menuju rute thawaf di sekeliling Ka’bah. Di tengah putaran thawaf kami kehilangan jejak satu sama lain. Semakin siang, suasana di sekitar Ka’bah semakin ramai. Sempat aku menengok arloji, waktu telah menunjukkan pukul 10.30 WSA.
Setelah aku pikir cukup sibuk untuk saling mencari, aku melakukan sa’i sendiri. Aku berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah, dan sebaliknya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Aneh, semakin siang, area sa’i semakin dipadati para jamaah. Mereka serta-merta menempatkan diri membentuk barisan shaf shalat.
Oh... ada apa ini...
Aku teringat sesuatu.
Oh iya... hari ini Jumat. Ternyata aku terjebak dalam shaf Shalat Jumat.
Waktu Shalat Jumat sebentar lagi akan masuk.
Setelah putaran ketiga sa’i itu, aku memutuskan menunda proses sa’i. Rute sa’i telah dipenuhi jamaah Shalat Jumat, tidak ada jalan untuk melangkah dan berlari-lari kecil. Aku mencari tempat yang cukup nyaman dan bergabung dalam barisan shalat. Aku duduk bersebelahan dengan jamaah dari Afrika. Seorang negro yang garang. Fisiknya yang tinggi besar, serta keseluruhan tampakannya yang hitam legam sedikit membuatku tidak nyaman.
Aku melirik kakinya yang hitam legam pula.
“Kakinya kotor sekali,” gumamku sedikit bersuara.
Aku melihat ekor mata pria hitam legam itu mengerjapku. Mungkin dia mendengar gerutuan dari mulutku.
Aku memutuskan pindah ke tempat yang lebih nyaman. Aku temukan tempat duduk bersebelahan dengan seorang anak dari Pakistan, putih dan manis. Tanpa disangka, pria hitam legam itu sudah berada di sampingku lagi. Menyeringai. Aku melihat giginya yang sangat putih, mungkin satu-satunya bagian tubuh yang putih. Tengik sekali.
Mau apa orang ini, aku berburuk sangka lagi, tanpa sadar.
Tiba-tiba ia menyapaku.
“Hai... Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawabku menyeringai jenaka.
Dengan gestur dan mimik yang sangat ekspresif, pria hitam legam itu mendesis-desis di depanku dengan artikulasi menyerupai bahasa alien.
“Ssssstttt zzzzttttt sssssstttttt zzzzztttttt...”
Aku kira artikulasi, gestur, dan mimiknya menunjukkan ia ingin mengatakan sesuatu. Aku diam saja, karena aku tak paham sama sekali.
“English, please!” kataku, menyeringai jenaka kembali.
Si pria hitam legam tak memedulikan, dan dia mendesis-desis lagi.
“Ssssstttt zzzzttttt sssssstttttt zzzzztttttt...”
Ia menggerak-gerakkan tangan, menunjuk-nunjuk sudut Hajar Aswad, namun aku sama sekali tak paham apa maksudnya. Ia makin beringas, makin ekspresif. Ia mendesis-desis terus-menerus. Beberapa orang kelihatannya memperhatikan kami. Aku pun meninggalkan pria hitam legam itu tanpa permisi. Tampaknya ia sangat kecewa.
Dalam hati, aku sama sekali tak punya niat meminta maaf atas tindakanku. Tampak sepercik perasaan takabur.
Aku telah mendapatkan tempat yang cukup nyaman sementara khotbah Jumat hari itu telah dimulai. Khotbahnya berbahasa Arab. Hanya beberapa kalimat saja yang cukup familiar di telingaku, karena sering diucapkan para penceramah di Indonesia. Yang lain sama sekali tidak aku mengerti.
Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’inuhu wanastaghfiruhu wana’udzubillah min syururi anfusina wa min sayyiati a’malina.5
Takjubnya aku, wajah-wajah seluruh orang kelihatan sangat menghayati isi ceramah.
Usai Shalat Jumat, ritual sa’i aku lanjutkan, tinggal empat putaran lagi. Beberapa saat setelah aku mulai lari-lari kecil, handphone-ku bergetar. dr.Wahidin call…
“Aisy, sekarang kamu dimana? Bu Nanik pingsan!” seru dr.Wahidin.
Aku kaget bukan main.
Bu Nanik pingsan.
“Sedang sa’i, Pak. Sebentar lagi selesai, kurang setengah putaran. Bapak sekarang dimana?” jawabku.
Aku berkata tergesa-gesa sekali.
“Di pintu 69. Cepat ke sini ya kalau sudah selesai.”
Bergegas aku menyelesaikan ritual sa’i. Berdoa sedikit tergesa pula. Kemudian mencari jalan keluar dan mengingat kembali ke arah mana harus pulang. Maklum, aku termasuk orang yang kurang teliti. Bisa-bisa tersasar. Biasanya Ibu Nanik-lah petunjuk jalan saat kami pergi ke Masjid Al-Haram. Tenangkan pikiran, lihat sekeliling.
Yaaak... ke kanan.
Bismillah...
Cukup lama aku mencari pintu yang dimaksud dr.Wahidin.
“Ya Rabb, pertemukanlah hamba dengan Bu Nanik,” hatiku mulai meratap-ratap setelah tak kunjung menemukan pintu 69.
Kususuri Masjid Al-Haram ke arah yang berlawanan dari arah Marwa. Penuh sesak dengan orang-orang dari seluruh dunia, ada yang sedang thawaf, duduk dan bertilawah, ada juga yang hanya berdiri sambil memandangi Ka’bah. Segera aku mencari celah untuk keluar.
“Ya Rabb, bagaimana aku harus menemukan mereka?” aku meratap-ratap dalam hati lagi.
Aku tahu dari testimoni para jamaah haji, kejadian seseorang tersesat di dalam Masjid Al-Haram adalah hal yang sudah biasa. Masjid paling suci dan paling besar di dunia ini memang luar biasa luasnya, seluruh Kota Slawi mungkin muat kalau di jejalkan ke dalamnya. Dua juta manusia bisa tumplek blekdalam suatu waktu di sini, tak ada ampun bagi mereka yang kurang teliti.
Aku tahu dari internet kalau seluruh area Masjid Al-Haram memiliki 129 pintu masuk. Pintu paling besar dan paling favorit adalah Bab Al-Salam, tempat aku masuk tadi bersama dr.Wahidin dan Ibu Nanik. Pintu yang mengarah langsung ke Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Kabarnya kebarakahan terbesar jamaah jika bisa masuk melalui pintu tersebut.
Aku masih senewen mencari pintu bernomor 69. Sudah dua kali aku bolak-balik dari sisi Marwa, kemudian ke sisi Shafa. Sekarang aku akan melakukannya untuk yang ketiga kali. Aku bahkan tak bisa menemukan pintu paling besar dan paling barakah itu, Bab Al-Salam.
Ada apa ini?
Aku letih. Aku capek. Di tengah perjalanan, aku terduduk lunglai di satu barisan shaf yang mulai kosong. Aku menghadap Ka’bah.
Aku tahu dari guru mengajiku bahwa Allah menjanjikan seratus ribu kebaikan untuk satu kebaikan yang dikerjakan di dalam Masjid Al-Haram. Allah menjanjikan seratus ribu keridhaan untuk satu keridhaan yang dikerjakan.
Astaghfirullah!
Astaghfirullahal ‘adzim...
Aku makin lunglai. Aku merasa harus introspeksi. Aku takut, Allah juga akan membalas seratus ribu kali lipat untuk satu keburukan yang sempat aku lakukan.
Bukankah Allah adalah seadil-adil Dzat?
Air mataku menetes. Aku tak sanggup untuk tidak menangis.
Logika hukum keadilan memungkinkannya. Kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan. Aku menangis semakin tersedu.
Ya Allah, maafkan aku.
Maafkan atas segala kesalahan hamba-Mu yang nista ini.
Maafkan aku, Wahai Tuhan Yang Maha Pengampun.
Aku meratap-ratap makin menjadi-jadi.
Di tengah-tengah ratapanku yang semakin menjadi, suara yang tampaknya sudah kukenal mengerjapku.
“Assalamu ‘alaikum...”
Aku menengok ke arah suara. Itu pria Afrika hitam-legam yang kakinya kotor sekali. Suara salam itu bukan untukku, tapi untuk seseorang yang ia sapa. Namun aku menjawabnya dalam hati. Aku ingat pesan guru mengajiku, seseorang yang mendengar ucapan salam dari saudara seimannya ditimpa kewajiban menjawabnya. Ya, dia saudara seimanku, meskipun kulitnya tidak sama denganku.
Aku luluh. Tak sepantasnya aku meremehkan saudara seimanku, meskipun ia seorang pria hitam-legam dengan kaki kotor sekali.
Ia sedang mendesis-desis lagi ke arah seorang jamaah haji. Aku menghampiri mereka. Aku mengucapkan salam, sementara ia serta-merta berpaling ke arahku, kemudian berdiri menyambutku.
Masya Allah, dia tinggi sekali. Aku kira sudut deviasi yang terbentuk dari dongakan leherku bernilai cukup besar hingga aku yakin tingginya lebih dari dua meter. Sementara aku hanya satu setengah meter lebih sedikit. Aku yakin, leherku akan terasa pegal jika lima menit saja aku mengobrol dengannya sambil berdiri.
Aku langsung mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Aku kira, itu cara dua orang muslim bukan muhrim bersalaman. Pria hitam-legam itu juga melakukan hal yang sama.
“I’m so sory, Mister,” ucapku kemudian.
Dia mengerutkan dahi, kemudian menyeringai. Aku yakin, tampakan giginya yang kontras sekali warna putihnya di antara legam kulitnya menunjukkan ia sama sekali tak paham apa yang aku ucapkan. Ia hanya mendesis-desis tak menentu.
“I’m so sory, if I have any mistaken. Please, give me your appologize!”
Aku meratap-ratap. Artikulasi, gestur, dan mimik wajah aku buat seperti orang yang sedang meminta maaf. Kalaupun pria legam itu tak paham ucapanku, aku berharap ia paham gelagatku.
“I’m so sory, Mister.”
Aneh. Dia berhenti mendesis-desis. Ia menatapku, getas. Kemudian sedikit berucap, yang tentu aku tak paham, dan menaikkan jempol tangan kanannya ke arahku. Ia kemudian berlalu begitu saja.
Aku berdiri termangu mengamati punggung belakangnya.
Sedetik kemudian aku teringat aku masih harus mencari pintu 69. Ada getaran terasa dari handphone-ku. Dr.Wahidin mengirimiku pesan singkat.
Kamu dimana, Aisy?
Sesaat aku tak berniat sama sekali menjawabnya, aku hanya merasa plong setelah meminta maaf ke pria Afrika hitam-legam itu. Entah kenapa, naluriku membimbingku untuk melangkahkan kaki ke arah bukit Marwah.
Aku berhasil melihat Bab Al-Salam. Sementara aku terdampar di sebuah pintu bertuliskan besar-besar angka ٧١.
Masya Allah... itu pintu 71.
Alhamdulillah tinggal sedikit lagi, 70 dan 69.
Aku senang bukan main. Aku melangkah sangat tergesa. Dalam hati aku bersenandung atas kebaikan hati pria hitam-legam itu, yang mau memaafkan parodi hatiku yang sempat tercecer. Aku berterimakasih kepada pria hitam-legam itu. Aku berterimakasih kepada Allah. Aku berterimakasih atas pelajaran yang kudapat.
Itu dia Ibu Nanik dan dr.Wahidin.
Alhamdulillah, Ibu Nanik ternyata sudah sadar. Setelah meminum air zam-zam, kata dr.Wahidin, ia siuman. Sepertinya beliau telah kuat untuk bangkit dan memberanikan diri untuk berjalan pulang.
“Benar sanggup, Bu?” tanyaku.
Bu Nanik hanya mengangguk.
“Sebentar, ambil sandal dulu.”
Aku bergegas menuju loker sandal dan sepatu. Sejenak aku kasak-kusuk tak menentu. Aku merasa ada yang kurang. Astaghfirullah... sandalku tidak ada. Anehnya, sandal Ibu Nanik ada, padahal terletak pada satu kotak dengan sandalku. Aku menyusuri semua kotak, di atas, di bawah. Pun sandal-sandal yang ada di lantai. Subhanallah... betul-betul tidak ada!
Aku berusaha introspeksi diri kembali.
Ada apa lagi ini?
Aku bergegas ke arah Ibu Nanik dan dr.Wahidin.
“Ada apa, Aisy?” tanya dr.Wahidin.
“Aku tadi di dalam masjid dikerjani parodi hati yang ndak karuan. Aku sempat tersesat tadi.”
Ibu Nanik dan dr.Wahidin tampak sangat antusias mendengarkan curhatku.
“Tadi di dalam masjid aku sempat berburuk sangka kepada seorang muslim dari Afrika. Astaghfirullah.. tadi waktu aku mau nitip sandal ke loker aku juga sempat berburuk sangka. Cuma sedikit parodi hati saja, Allah langsung mengabulkan. Aku tersesat. Dan sekarang benar sandalku tidak ada, benar-benar hilang.”
Mereka berdua menyeringai.
“Yah... sudah deh pulang yuk, Bu. Nikmati saja deh pulang hanya beralas kaos kaki.”
Ibu Nanik dan dr.Wahidin menyeringai kembali. Ibu Nanik tampaknya ingin mengatakan: sabar ya! Tapi tidak cukup harfiah. Dr.Wahidin pun tampaknya akan mengatakan hal yang sama.
“Mana kaos kakinya baru lagi,” aku masih menggerutu.
Sekarang gantian aku yang menyeringai ke arah mereka berdua.
“Ndak apa-apa wis, itung-itung pijat kaki gratis, hehehe...”
Kami bertiga terkekeh.
Waktu menunjukkan 14.00 WSA. Wuaaah... panas. Aku kira suhu saat itu lebih dari 60 derajat celcius. Untunglah kaki masih terasa biasa-biasa saja, meskipun hanya beralas kaos kaki. Aku lihat Ibu Nanik mulai limbung. Dr.Wahidin menyarankan agar kami berhenti dulu sebentar. Beliau semburat entah kemana.
Tak lama kemudian, dr.Wahidin datang membawa dua jus mangga, ayam, dan kentang goreng. Sepuluh menit kemudian, sebuah ambulance datang bersama perawat yang membawa kursi roda. Rupanya tadi dr.Wahidin menelepon ambulance sekaligus membeli makanan.
Sungguh baik hati dokter yang satu itu.
Tibalah kami di klinik emergency, sekira 500 meter dari Masjid Al-Haram, sekitar 200 meter dari tempat kami beristirahat tadi.
Segera Ibu Nanik berbaring. Perawat memasukkan termometer ke mulut beliau. Masya Allah, 40 derajat celcius. Perawat kemudian mengambil sampel darah. Klinik yang canggih. Ada alat untuk mendeteksi gula darah dan kolesterol dalam satu tetes darah. Perawat kemudian memintaku memasangkan berlembar-lembar kapas yang dibasahi air zam-zam di kaki, tangan, dan perut beliau agar panasnya cepat turun.
Tak lama kemudian dokter klinik datang, memeriksa keadaan beliau. Si dokter berkata kepadaku dan dr.Wahidin, dengan bahasa Inggris, bukan bahasa Arab. Si dokter tampaknya cukup fasih berbahasa Inggris. Kata beliau, gula darah dan kolesterolnya normal. Tinggal menunggu panasnya reda saja.
“Has she take eat any ransom?” tanya si dokter kemudian.
“Hasn’t yet,” jawab dr.Wahidin efektif.
“She should not be late taking her ransom,” lanjut si dokter, “you’ve to determinate it, okey.”
“Okey, doctor.”
Dan beliau meninggalkan kami.
Adzan berkumandang. Sembari menunggu panas Bu Nanik turun, saya Shalat Ashar. Semua dokter dan perawat segera mengambil sajadah mereka dan menempatkan diri di pelataran masjid. Begitulah semua aktivitas berhenti saat waktu shalat tiba.
Alhamdulillah suhu tubuh Bu Nanik akhirnya turun. Sudah reda. Termometer dipasang kembali, darah diambil lagi. Semua normal. Dokter klinik menyatakan Bu Nanik sudah sehat. Pukul 16.30 WSA kami melanjutkan perjalanan pulang menuju maktab. Dalam hati aku bersyukur, ujian ini telah berhasil kami lewati. Dan yang jelas, Alhamdulillah, kakiku tidak kepanasan saat perjalanan pulang.
-------
AKU MASIH tercenung di atas ranjang tidurku. Aku merasa beruntung sekali bisa menunaikan rukun Islam kelima ini.
Dari dulu, selalu ada pusaran energi setiap kulafalkan Talbiyah6. Bergetar pula hatiku setiap kali mendengar lantunannya. Ada rasa haru yang menderu. Ada kerinduan yang membuncah. Aku datang,Ya Rabb, memenuhi panggilan-Mu. Aku menangis. Aku tak menyangka aku yang hina ini bisa datang ke rumah-Mu. Berdiri memenuhi panggilan-Mu di tanah suci. Cukup menyentak kalbu, aku yang dina ini dipatutkan meraih kesucian Tanah Haram.
Dalam sebuah hadits, diperkenankan seseorang memberi syafaat kepada orang lain, ketika ia memiliki kesempatan. Misalnya kesempatan lebih dekat kepada Allah ketika berhaji di Tanah Haram. Oleh karena itu, teman-teman, keluarga, dan sanak famili menitip doa kepadaku, yang punya hajat menitip pesan agar aku mendoakan mereka.
Barangsiapa datang berhaji semata-mata karena Allah, diampuni segala dosa yang telah diperbuatnya dan memberi syafaat bagi orang yang didoakannya.7
Tanah Haram adalah tempat paling dekat dengan Allah, sementara segala doa dan prasangka telah dimodul sedemikian rupa dalam paket express expedition. Sedikit saja krenteg, langsung diijabah. Pengalamanku benar-benar telah mengorfirmasinya. Jangan sekali-kali membuat parodi hati macam-macam di Tanah Haram.
Selain kejadian yang tidak cukup mengenakkan di Masjid Al-Haram tempo hari, pernah juga aku mengalami kejadian yang sedikit mengenakkan. Suatu ketika aku berangkat menuju Masjid Al-Haram dari pemondokan. Kala itu pukul lima sore waktu setempat. Aku sangat tergesa-gesa hingga aku lupa membawa perbekalan air minum. Di tengah perjalanan aku haus sekali. Aku berjalan kaki lebih-kurang satu kilometer. Seketika aku berdoa dalam hati. Dengan penuh keyakinan, aku berharap ada orang yang memberiku air minum.
Jreng jreng... tak berapa lama, ada dua anak kecil mengeluarkan berbungkus-bungkus paket makanan berisi air mineral, snack dan buah apel. Kebiasaan orang kaya di Saudi Arabia saat musim haji adalah membagikan makanan dan minuman kepada jamaah haji. Doaku diijabah dalam kesempatan dan waktu yang sangat klik, presisi, sesaat setelah aku dipertemukan dengan dua anak kecil itu.
Sontak, aku pun menengadahkan tangan, bersyukur kepada-Nya.
Ya, Allah, betapa dekat Engkau di Tanah Haram ini.
Terimakasih Ya Allah, Tuhan yang Maha Memberi Rezeki.
Alhamdulillah, Engkau tidak membiarkan dahagaku mengurat.
Aku sadar, haji adalah momentum terbaik untuk bermuhasabah8, momentum terbaik untuk merenungkan diri sendiri. Mencari tahu dan menyelami seberapa hina diri, seberapa kuat amal yang telah aku perbuat. Dan yang terpenting, mengukur seberapa besarkah kadar ikhlas dalam amalan-amalan itu.
Haji adalah ujian kesabaran dan keikhlasan. Aku bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku blank mengenai karakter dan tradisi mereka. Mau tidak mau, aku harus coba berinteraksi karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Aku membutuhkan mereka. Kami saling membutuhkan.
Aku sadar, suatu waktu harus menemui kekurangan orang lain, menemui ketidakenakan, menemui kesakithatian, kesedihan, dan kemarahan. Meskipun demikian, aku kira semua benang merahnya hanya satu, yakni agar semua itu menjadi bahan pelajaran, menjadikan aku bersyukur atas kekuasaan Allah yang telah menciptakan begitu banyak karakter manusia. Dan membuat aku semakin bersyukur dengan hidupku[]
Catatan Kaki:
1 – Penginapan jamaah haji.
2 – Perasaan ingin sesuatu yang terbersit dalam hati (Bahasa Tegal).
3 – Waktu Saudi Arabia.
4 – Pintu Masjid Al-Haram paling populer dan favorit bagi jamaah haji.
5 – Awalan khotbah Jumat yang berisi hamdalah.
6 – Dzikir yang diulang-ulang ketika mengenakan pakaian ihram.
7 – Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al Ansyari.
8 – Merenung.
Rabu, 01 Agustus 2012
BERDAGANG, MENGAKAR BAK AKAR WANGI
#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#
Mengemis dan meminta belas kasihan orang lain, bisa menjadi sebuah alasan yang kuat bagi kaum papa apalagi umur sudah sangat lanjut. Namun, tidak dengan Suradiyanto (86 tahun), Keseharian beliau adalah berjualan akar wangi di emperan Supermarket ADA Siliwangi Semarang. Tubuhnya yang sudah sangat renta membuat tangannya bergetar saat memasukkan akar wangi ke tas plastik. Aku membelinya dengan harga seribu rupiah per ikat.
Tidak tanggung-tanggung akar wangi yang dijualnya sengaja didatangkan dari Yogyakarta. Dia sendiri yang membawanya dari Gunung Kidul ke Semarang. Pasalnya di sanalah ia berasal dan beranak-pinak. Dua minggu sekali Pak Di begitu sapaannya baru pulang ke Jogja.
Laki-laki yang sudah berjualan akar wangi selama setahun ini mempunyai istri berumur 50 tahun. Mereka berasal dari Desa Parangan, Kecamatan Cemin, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kakek dari tujuh cucu dan lima orang anak ini mengawali usahanya berawal modal Rp. 400.000. Setiap dua minggu sekali pulang membawa laba penjualan Rp. 500.000 – Rp. 600.000.
Saat ditanya apa alasan beliau di usia senja masih berjualan. Jawaban yang sangat sederhana meluncur dari mulut beliau, yakni mumpung masih sehat maka beliau bekerja menghidupi diri sendiri dan istri. Beliau tidak mau bergantung pada anak-anak. Sebelum berjualan akar wangi, beliau berjualan kerupuk di daerah Krobogan, Semarang.
Bila di Semarang, beliau menginap di Pasar Bulu yang saat ini sedang direnovasi total. Semangatnya yang luar biasa dalam berdagang membuatku semakin yakin dan kuat kemauan untuk belajar bergadang, berbisnis kalau perlu menjadi eksportir produk-produk alam yang melimpah ruah di Indonesia seperti akar wangi ini.
Diambil dari situs resmi Kabupaten Pekalongan, Akar wangi yang biasanya diekstrak untuk diambil minyaknya mendapat julukan “golden java vetiver oil” dalam dunia perdagangan internasional. Minyak ini memiliki aroma yang lembut dan halus karena mengandung senyawa kimia yang disebut vetiverol. Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk pembuatan parfum, bahan kosmetik, pewangi sabun, dan obat-obatan, serta pembasmi, dan pencegah serangga. Indonesia memasok 60% kebutuhan minyak asiri dunia. Volume ekspor minyak akar wangi menduduki posisi kedua setelah minyak nilam.
Akar wangi di Kabupaten Pekalongan selama ini telah dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan kerajinan pintal/tenun akar wangi yang dikombinasikan dengan benang. Sentra kerajinan tenun akar wangi di Pekalongan dapat dijumpai di Pakumbulan Kecamatan Buaran. Sedangkan potensi untuk mengusahakan sendiri tanaman akar wangi agar dapat diolah menjadi kerajinan tenun/pintal maupun menjadi minyak akar wangi masih belum umum dibudidayakan oleh masyarakat.
Sedangkan yang dijual Pak Di hanyalah akar wangi yang sudah kering dan aneka kerajinan tangan berbahan baku akar wangi yang digunakan untuk pengharum sekaligus hiasan ruangan. Akar wangi ini dibentuk beraneka macam seperti gajah, kura-kura, kuda, dll.
http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/136-artikel-pertanian/1479-potensi-ekonomi-akar-wangi-dan-julukannya-sebagai-qjava-vetiver-oilq-.html
Wawancara 1 Februari 2012
Rilis 1 Agustus 2012/12 Ramadhan 1433H
Langganan:
Postingan (Atom)
Sekilas Perjalanan Haji 1431 H 2010 M Part I
#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati# Yaaah.. itulah hidup yang kurasa bagaikan mimpi. Sekejap terjadi begitu saja.. Banyak hal yang tidak bisa...
-
#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati# Di tahun 2010 ini baru bulan Februari ini aku sempat mengisi kembali tampilan-tampilan blogku. Setelah ...
-
Pembelajaran Hidup melalui FLP Tegal Mungkin akan lain ceritanya kalau saja mba Fani Rosanti alias Kelopak Biru tidak memintaku m...
-
Berani-Percaya Diri-Rendah Hati Malam ini, malam yang sedih untukku. Banyak hal yang Allah berikan. Aku tahu Allah berikan ini untuk menguji...