Rabu, 29 Februari 2012

KAYA DENGAN EKSPOR BESEK

#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#

Ada sebuah cerita menakjubkan dari seorang eksportir  ternama, Andi Susilo. Ia pernah mempunyai pengalaman mengekspor besek seberat satu ton ke Belanda!
“Hah?! Besek?, untuk apa pak?”, tanyaku menyela ceritanya.
“Lha iya, besek lho mba. Padahal jaman sekarang banyak tempat makanan yang bisa menjaga kualitas makanan seperti Tupperware. Tapi mereka lebih senang menggunakan besek. Aneh kan ? Ceritanya gini. Orang Belanda itu merasakan manfaatnya besek sebagai tempat menyimpan rempah-rempah. Aroma rempah-rempahnya masih bertahan lama bahkan bertahun-tahun. Sebab dulu mereka diwarisi rempah-rempah oleh nenek moyang yang menjajah Indonesia. Rempah-rempah itu disimpan di dalam besek.” ujar lelaki yang menggeluti ekspor-impor sejak 1998.
Cerita itu keluar begitu saja mengalir dari mulut beliau saat aku memberanikan diri bertanya pada penulis “Buku Pintar Ekspor-Impor” ini. Kesempatan ini terjadi di Pesta Buku Gramedia Pandanaran (2/2/2012). Di sana digelar talk show salama satu jam di panggung kecil di sela-sela pengunjung berlalu lalang melihat buku-buku yang diobral mulai dari Rp. 10.000.
Aku merasa ini adalah sebuah jawaban dari Allah atas keinginanku menjadi eksportir produk-produk khas Indonesia suatu saat nanti.
Besek adalah sebuah tempat berbentuk kubus yang dibelah dua terbuat dari bambu yang diiris tipis. Biasanya digunakan untuk tempat rempah-rempah atau makanan. Namun, saat ini kurang begitu populer akibat berdatangan produk-produk tempat makanan berbahan plastik yang dari segi bentuk dan tampilannya lebih menarik. Besek pun kalah prestise.
Pertanyaan yang aku lontarkan saat MC memberi kesempatan adalah mengenai motivasi dan alasan beliau menggeluti ekspor-impor. Dijelaskan bahwa semua berawal dari sebuah keheranan kepada sang kakak. Mengapa ia lebih memilih ekspor-impor dalam memulai usahanya. Ternyata pada tahun 1998 saat terjadi krisis moneter pertanyaan itu terjawab. Pada tahun itu banyak perusahaan bangkrut, karyawan di-PHK, namun usaha ekspor kakaknya tetap saja berjalan malah mendapatkan keuntungan yang lebih banyak akibat kurs dollar yang menguat berkali lipat terhadap rupiah. Sejak saat itu Andi Susilo memberanikan diri menjadi eksportir.
Ternyata menjadi eksportir itu gampang-gampang susah. Apapun bisa kita ekspor. Indonesia kaya akan kekayaan alam yang tidak ada di luar negeri. Contohnya adalah ­besek yang baru saja diceritakan. Contoh produk lain adalah sayur-sayuran. Seperti yang dilakukan pengusaha nyentrik  Bob Sadino. Ia hanya mengekspor  terong ke Jepang.  Namun, jangan salah, yang ia kirim satu ton setiap harinya. Untuk menembus pasar ekspor Jepang pun bukan main sulitnya. Jepang sangat memperhatikan kualitas. Jadi kualitas itu nomor satu. Kemudahannya adalah kita bisa mendapatkan produk-produk tersebut dalam jumlah banyak dan murah-meriah tentunya. Aku sempat nyletuk “trasi” saat Pak Andi tanya kelak aku ingin mengekpor apa. Ubi, ketela pohon alias pohung (kata orang Semarang) alias bodin (kata orang Tegal) juga bisa menjadi komoditas ekspor yang menggiurkan. Di Mekah harga ketela pohon bisa mencapai 15 Riyal sekilo lebih mahal dari sekilo ikan yang hanya 10 Riyal. Selain besek, Pak andi pun pernah mengekpor daun pisang ke Belanda.
Salah satu usaha yang terbukti mampu bertahan pada saat krisis ekonomi adalah sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor prioritas seperti kerajinan, sandang, peternakan, perikanan, pertanian, perkebunan, serta makanan dan minuman, perlu dikembangkan dengan pertimbangan tidak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri, tetapi juga pasar ekspor. Potensi sumber daya alam dan tenaga kerja sangat memungkinkan penggarapan sektor ini.
Pasar luar negeri masih sangat terbuka dalam menyerap hasil-hasil produksi dalam negeri, terutama untuk usaha kecil. Dengan perluasan pasar akan mendongkrak kapasitas produksi yang jika digarap dengan benar sangat besar peluangnya untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, masuknya produk-produk tertentu dari luar negeri (impor) dengan harga jauh di bawah harga produk-produk dalam negeri merupakan peluang bagi pengusaha untuk mendatangkannya ke Indonesia, baik berupa produk sebagai bahan baku untuk diolah maupun barang jadi untuk langsung dipasarkan.
“Buku Pintar Ekspor-Impor” ini menjelaskan secara ringkas tentang jenis-jenis transaksi yang bisa dilakukan, produk-produk yang bisa diperdagangkan, tata cara pelaksanaannya, regulasi yang mengaturnya, serta pola dan jenis-jenis pembayarannya. 
Semarang, 29 Pebruari 2012
Refreshing di sela-sela pusing dengan tugas..^_^



Minggu, 19 Februari 2012

FLP Tegal SelfPublishing Terbitkan Karya SN.Ratmana, Kok Bisa?

#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#

Berawal dari kunjungan kami (FLP Tegal) untuk meminta koreksi atas karya-karya yang hendak kami terbitkan. Kemudian beliau memberikan bocoran bahwa sebentar lagi buku beliau akan diterbitkan oleh salah satu penerbit terkenal. Buku itu terdiri dari novelet dan kumpulan cerpen berjudul “Lolong, Lelaki Lansia” Berkisah mengenai sebuah keluarga yang mengungsi akibat agresi militer Belanda I tahun 1947. Kemudian mengangkat sebuah fakta sejarah yang tersembunyi dari sebuah desa di Pekalongan bernama Lolong.   
“Kalau Lelaki Lansia maksudnya apa pak?”, tanya salah satu dari kami.
“Itu adalah kumpulan cerpen yang saya tulis sewaktu saya sudah pensiun”, jawab beliau.
“Oo..”, serentak bibir kami membulat.
“Semoga lekas terbit ya, pak”.
***
Beberapa waktu kemudian saat kami bersilaturahim lagi untuk mengantar naskah kumpulan cerpen kami yang sudah diterbitkan berjudul “Akulah Pencuri Itu”, tidak disangka beliau mengejutkan kami dengan berita batalnya buku beliau terbit.
“Hmm, kok bisa seorang sastrawan karyanya ditolak penerbit?”, gumamku.
“Alasannya apa pak, kok ditolak?”, tanya salah satu dari kami.
“Katanya ceritanya kurang menjual. Saat ini bukan trendnya kisah sejarah”, jelas Pak Suci, begitu kami memanggilnya.
Kemudian obrolan berlanjut. Pak Suci menanyakan cara kami bisa menerbitkan kumpulan cerpen “Akulah Pencuri Itu”.
Kami menjelaskan bahwa kami menerbitkan secara indie. Artinya kami harus punya modal sendiri untuk membiayai percetakan. Pasalnya, kumpulan cerpen tidak menjadi prioritas penerbit saat itu, yang lebih diutamakan novel. Kami meminjam uang di bank dulu kemudian angsurannya kami cicil setiap bulan digotong sepuluh orang.
“Biayanya berapa?, tanya Pak Suci.
“Waktu itu tujuh juta untuk 500 eksemplar”, jawab Ali Irfan, Ketua FLP Tegal.
“Oh.. saya mau seperti itu”, tukas beliau. “Saya hanya ingin karya ini terbit, meskipun saya harus mengeluarkan uang”.
Singkat cerita FLP Tegal membantu beliau menerbitkan “Lolong, Lelaki Lansia”. Naskah hardcopy beliau pinjamkan kepada kami. Bisa dikatakan modal nekat, dan niat tulus membantu sang Sastrawan yang kami daulat untuk menjadi Pembina FLP Tegal. Hal ini juga merupakan wujud perjuangan kami sebagai generasi muda yang tidak lagi membawa bambu runcing maupun bedil namun dengan tulisan.
Rapat segera diadakan. Konsep penerbitan pun dicetuskan “Publishing for Charity”, penerbitan untuk amal. Seribu eksemplar dicetak, 500 disumbangkan ke sekolah-sekolah di kota Tegal dan sekitarnya, 500 dijual. Ilustrasi dibuat oleh salah satu anggota FLP Tegal bernama Septi Ade. Redaksi proposal dibuat oleh Ali Irfan, Ketua FLP Tegal. Endorsement dibuat oleh Eri Fitniati, Divisi HRD, desain proposal dibuat oleh Endirah Eka Ningrum, Divisi Support, surat menyurat oleh Yustia Hapsari, dan penyebaran proposal oleh Dwi Puspa, Sutono Adiwerna, Anis Nurani dan Ragil Mustika Sari. Sedangkan penerbitan kami percayakan pada Afifah Afra (Ketua FLP Jateng, sekaligus Direktur  PT. Indiva Media Kreasi). Berhubung Indiva bukanlah penerbit indie, maka diusulkan nama FLP Tegal SelfPublishing sebagai penerbit buku “Lolong, Lelaki Lansia”. Estimasi dana yang dikeluarkan 7,5 juta untuk 1000 eksemplar. Sebisa mungkin pak Suci jangan mengeluarkan uang sepeserpun.
Waktu terus bergulir, penyebaran proposal dilakukan. Namun, penggalangan dana ini kurang maksimal, tidak berjalan mulus, semulus jalan yang baru diaspal. Kami membutuhkan waktu yang lama akibat kesibukan kami masing-masing : bekerja, mengajar, kuliah. Ditambah dengan adanya agenda FLP Tegal yang lain yakni BaKar SaTe (Bahas Karya Sambil Telah) setiap sebulan sekali.  Tiga bulan lamanya proses penggalangan dana dilakukan, namun dana yang diperoleh masih jauh dari yang dibutuhkan. Maka, akhirnya pak Suci pun meminjamkan uangnya sebesar lima juta kepada FLP Tegal, kekurangannya diambil dari dana sponshor dan donatur. Bismillah.. Akhir tahun 2011, buku “Lolong Lelaki Lansia” naik cetak. Awal 2012 buku telah sampai di sekretariat. Adapun sponshor yang turut mensukseskan penerbitan ini antara lain Cosmo GPS, Bank Syariah Mandiri, Percetakan Kejambon, La Tansa Muslim Outlet, dan BMT BUM.
Rapat kembali diadakan untuk membahas launching. Ditetapkan tanggal 12 Februari 2012 sebagai waktu pelaksanaannya karena berdekatan dengan ulang tahun FLP secara nasional yang jatuh pada tanggal 22 Februari dan agar dilakukan sesegera mungkin  sesuai dengan permintaan Pak Suci.
Proses launching pun melibatkan Dinas Pendidikan Kota Tegal untuk menyebarkan surat ke sekolah-sekolah, yang berisi undangan untuk menghadiri launching dan penawaran pembelian buku tersebut. SN. Ratmana pun turun tangan untuk mendatangi sendiri Kepala Dinas Pendidikan Kota Tegal yang kebetulan adalah mantan murid beliau.  Surat Permohonan Audiensi pun dilayangkan agar mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kota Tegal.
Tanggal 24 Januari 2012, kami mendapat tanggapan dari Pemerintah Kota Tegal yang waktu itu diwakili oleh Wakil Walikota Tegal, H. Habib Ali Zaenal, SE. Dalam audiensi bapak Wakil mengundang perwakilan dari Dinas Pendidikan, Bagian Umum dan DPPKAD. Semua diundang secara bertahap untuk menjelaskan seberapa besar pemerintah kota Tegal bisa membantu launching buku setebal 234 halaman itu.
Secara garis besar pemerintah kota Tegal sangat mendukung terbitnya karya warga Tegal, apalagi sekelas sastrawan. Namun, panitia yakni FLP Tegal harus mempunyai dana talangan dahulu untuk biaya launching karena menurut Peraturan Mendagri yang baru bahwa untuk mendapatkan alokasi dana dari APBD maka lembaga pemohon harus mengajukan satu tahun sebelumnya.
Dengan mengandalkan sisa penggalangan dana penerbitan yang hanya satu juta sekian, kami optimis melangkah. Meskipun dana yang ada tidak akan cukup untuk membayar snack, back drop, akomodasi pembicara dan keperluan lain.
Beberapa teman pun didaulat untuk menjadi pengisi acara seperti Teater Gemblong, Shinta ArDjahrie (FLP Purwokerto) menjadi MC. Pak Suci menginginkan Prof. Abu Su’ud (Mantan Guru Besar UNNES) menjadi pembedah buku beliau. Sedangkan FLP Tegal menunjuk Kurnia Effendi (Cerpenis asal Slawi) untuk menjadi pembedah kedua atas usulan Shinta. Pak Suci menginginkan adanya pembacaan salah satu penggalan cerpen atau novel. Terpilihlah cerpen “Tasini” untuk dipentaskan oleh Teater Gembolng dan Bab IV dari novel untuk dibacakan.
Tulisan-tulisan dan promo penjualan sebelum peluncuran pun digencarkan. Road Show di beberapa radio di kota dan kabupaten Tegal pun dilakukan, yakni : Sebayu FM, RCA FM dan Pertiwi FM.
Detik-detik Launching “Lolong, Lelaki Lansia” pun dimulai. Tampak peserta dari perwakilan sekolah berdatangan di Pendopo “Ki Gedhe Sebayu” Kota Tegal. SN. Ratmana pun datang awal, disusul Prof. Abu Suud dan Kurnia Effendi. Bazar buku pun disiapkan yakni “Lolong, Lelaki Lansia” (FLP Tegal SelfPublishing), “Sediman Senja” (Gramedia), “Akulah Pencuri Itu” (Indie Publishing) dan Who Wants to be A Briliant Writer (Gizone Books).
Satu hal yang dapat kami petik dari rangkain peristiwa penerbitan “Lolong, Lelaki Lansia” ini adalah bahwa ini semua berkat sebuah keinginan kuat SN.Ratmana yang ingin menerbitkan sebuah kisah sejarah demi bekal anak-cucu. Mestakung – “Semesta Mendukung”, begitu kata Prof. Yohanes Surya.
Tahukah Anda? Ada sebuah rahasia di balik ini semua. Keistiqomahan SN.Ratmana dalam menjalankan sholat tahajud. Hal ini terkuak saat obrolan santai menunggu SKPD lain datang, audiensi 24 Januari silam.
Habib Ali berkata,”Tempo lalu pukul tiga dini hari saat saya hendak pergi ke luar kota saya melihat Pak Suci kalau tidak salah, berjalan memakai baju koko, sarung dan kopiah. Akan kemana Bapak?”
“Saya memang sering jalan-jalan dulu setelah sholat tahajud sambil menunggu adzan Subuh berkumandang”, jelas Pak Suci dengan suaranya yang lirih. 
Tegal, 19 Februari 2012
Yustia Hapsari, Sekretaris FLP Tegal.

Sekilas Perjalanan Haji 1431 H 2010 M Part I

#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati# Yaaah.. itulah hidup yang kurasa bagaikan mimpi. Sekejap terjadi begitu saja.. Banyak hal yang tidak bisa...