Parodi Hati di Tanah Suci 

Putri Adila dan Jaki Umam


PLANET BUMI ini bulat. Konon, hal itu telah menjadi perdebatan ribuan tahun di daratan Eropa ketika mereka dalam masa kegelapan, di bawah Gereja. Di era modern ini, aksioma itu terbukti sudah tak terbantahkan. Bahkan, manusia sekarang bisa memotret langsung kondisi planet ini dari luar angkasa.
Beberapa ilmuwan Amerika dan Eropa telah mendapatkan fakta bahwa wilayah Jazirah Arab adalah episentrum bumi, baik secara struktur maupun peradaban.
Manakala bumi di foto dari luar angkasa, Jazirah Arab selalu tampak lebih kontras dari daerah manapun, seolah ada daya tarik magnetik yang sangat besar. Apabila ditarik garis dari kutub utara sampai ke kutub selatan, kemudian dibagi garis dari kutub utara sampai titik pusat Ka’bah, maka akan diperoleh angka ajaib phi, 3.14. Hasil ini sama persis dengan rasio yang didapatkan dari tinggi setiap manusia dibagi jarak dari ujung kepala sampai pusar.
Dalam hal ini, Ka’bah terbukti telah menjadi pusat bumi secara struktur, sementara pusar adalah pusat tubuh manusia secara struktur.
Sejak masa permulaan, Ka’bah dan Tanah Haram memang tercatat telah menjadi asal-mula peradaban. Nabi Adam pertama kali membangun Ka’bah, bertemu Siti Hawa di Padang Arafah setelah keduanya terpisah hampir setengah millenium. Kedua manusia pertama ini beranak-pinak dari situ, kemudian menyebar ke segala penjuru.
Tongkat estafet kemudian dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim. Beliau membangun ulang Ka’bah dan Tanah Haram, dan meninggalkan Nabi Ismail beranak-pinak di sekitarnya. Keturunan Ismail-lah yang kemudian menjadi pemegang peradaban selanjutnya.
Episode paling dasyat dari Ka’bah dan Tanah Haram bermula dari masa Rasulullah, 14 abad silam. Beliau-lah yang membangun pelita agama, ilmu, dan kearifan dari salah satu sudutnya, dan menjalar ke seluruh penjuru dunia. Sampai saat ini pun kharisma pusat dunia-nya belum pudar dan aku yakin tidak akan pernah pudar.
Sekarang, aku berada di salah satu titik Tanah Haram, di dalam maktab1 jamaah haji Indonesia. Aku berada hanya beberapa ratus meter dari Ka’bah, pusat bumi itu. Perasaan haru, bangga, dan kagum menggulung-gulung dalam dadaku, bak tsunami Aceh enam tahun lalu. Aku betul-betul terpelanting dalam pusaran energi yang begitu besar. Egoku runtuh, kemanusiaanku luluh.
Malam itu, puluhan orang dalam maktabku tampak sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing, tilawah, zikir, dan membaca buku. Ada pula yang sedang berkemas-kemas untuk pulang. Kami telah menyelesaikan Wukuf di Padang Arafah empat hari yang lalu. Itu berarti kami telah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji.
Aku terduduk lesu di sisi tempat tidurku, memutar kembali memori-memoriku. Aku tak bisa membayangkan, aku bisa sampai di sini dan menunaikan rukun kelima agama dalam usiaku yang baru 23 tahun.
Berada di tanah suci bagaikan berada di alam mimpi. Semua terjadi serba-cepat dan tidak ada rutinitas yang menjemukan. Yang ada hanya shalat, memperbanyak tilawah, jalan-jalan, belanja, membeli barang-barang yang dibutuhkan ataupun yang diinginkan. Bagaikan mimpi juga karena semuanya terjadi begitu cepat, tepat sesuai prasangkaku. Ibarat kata, siang ini aku ingin sesuatu, lalu di waktu sore Allah mengabulkannya. Amazing!
Banyak peristiwa terjadi selama di tanah suci yang menyangkut doa dan krenteging ati2. Allah sungguh sesuai prasangka hamba-Nya. Apa yang diminta hamba-Nya, entah baik atau buruk, pasti Allah mengabulkan. Itulah yang kadang membuatku heran dan istighfar harus segera terucap sesaat setelah aku sadar telah melakukan kekhilafan. Aku senantiasa berusaha membersihkan hati agar aku selalu membuat prasangka yang baik-baik saja. Di sini, Allah dekat sekali. Jangan membuat parodi yang tak penting bahkan kalaupun itu dilakukan hanya dalam hati.
Aku ingat kejadian beberapa hari lalu saat melaksanakan Tawaf Ifadhah. Salah satu rukun Haji, setelah melaksanakan Wukuf di Arafah dan Lempar Jumrah di Mina.
Pagi itu sekitar pukul 10.00 WSA3, dr.Wahidin, Ibu Nanik, dan aku bergerak menuju Masjid Al-Haram. Terjadi sesuatu yang membuatku yakin bahwa di tanah suci memang harus hati-hati dalam berucap dan berpikir.
Biasanya ketika sampai di Masjid Al-Haram, sandal dimasukkan ke dalam tas kresek dan dibawa saat aktivitas di dalam masjid. Tempat penitipan sandal pun ada, semacam loker khusus sandal dan sepatu. Saat itu kami menitipkan sandal di situ. Tak sengaja hatiku berkata: jangan-jangan nanti sandalku hilang. Sedikit sekali kalimat itu terbersit.
Kami kemudian masuk melalui Bab Al-Salam4, pintu utama Masjid Al-Haram yang sangat favorit bagi jamaah haji. Kami bertiga langsung menuju rute thawaf di sekeliling Ka’bah. Di tengah putaran thawaf kami kehilangan jejak satu sama lain. Semakin siang, suasana di sekitar Ka’bah semakin ramai. Sempat aku menengok arloji, waktu telah menunjukkan pukul 10.30 WSA.
Setelah aku pikir cukup sibuk untuk saling mencari, aku melakukan sa’i sendiri. Aku berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah, dan sebaliknya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Aneh, semakin siang, area sa’i semakin dipadati para jamaah. Mereka serta-merta menempatkan diri membentuk barisan shaf shalat.
Oh... ada apa ini...
Aku teringat sesuatu.
Oh iya... hari ini Jumat. Ternyata aku terjebak dalam shaf Shalat Jumat. 
Waktu Shalat Jumat sebentar lagi akan masuk.
Setelah putaran ketiga sa’i itu, aku memutuskan menunda proses sa’i. Rute sa’i telah dipenuhi jamaah Shalat Jumat, tidak ada jalan untuk melangkah dan berlari-lari kecil. Aku mencari tempat yang cukup nyaman dan bergabung dalam barisan shalat. Aku duduk bersebelahan dengan jamaah dari Afrika. Seorang negro yang garang. Fisiknya yang tinggi besar, serta keseluruhan tampakannya yang hitam legam sedikit membuatku tidak nyaman.
Aku melirik kakinya yang hitam legam pula.
“Kakinya kotor sekali,” gumamku sedikit bersuara.
Aku melihat ekor mata pria hitam legam itu mengerjapku. Mungkin dia mendengar gerutuan dari mulutku.
Aku memutuskan pindah ke tempat yang lebih nyaman. Aku temukan tempat duduk bersebelahan dengan seorang anak dari Pakistan, putih dan manis. Tanpa disangka, pria hitam legam itu sudah berada di sampingku lagi. Menyeringai. Aku melihat giginya yang sangat putih, mungkin satu-satunya bagian tubuh yang putih. Tengik sekali.
Mau apa orang ini, aku berburuk sangka lagi, tanpa sadar.
Tiba-tiba ia menyapaku.
“Hai... Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawabku menyeringai jenaka.
Dengan gestur dan mimik yang sangat ekspresif, pria hitam legam itu mendesis-desis di depanku dengan artikulasi menyerupai bahasa alien.
“Ssssstttt zzzzttttt sssssstttttt zzzzztttttt...”
Aku kira artikulasi, gestur, dan mimiknya menunjukkan ia ingin mengatakan sesuatu. Aku diam saja, karena aku tak paham sama sekali.
“English, please!” kataku, menyeringai jenaka kembali.
Si pria hitam legam tak memedulikan, dan dia mendesis-desis lagi.
“Ssssstttt zzzzttttt sssssstttttt zzzzztttttt...”
Ia menggerak-gerakkan tangan, menunjuk-nunjuk sudut Hajar Aswad, namun aku sama sekali tak paham apa maksudnya. Ia makin beringas, makin ekspresif. Ia mendesis-desis terus-menerus. Beberapa orang kelihatannya memperhatikan kami. Aku pun meninggalkan pria hitam legam itu tanpa permisi. Tampaknya ia sangat kecewa.
Dalam hati, aku sama sekali tak punya niat meminta maaf atas tindakanku. Tampak sepercik perasaan takabur.
Aku telah mendapatkan tempat yang cukup nyaman sementara khotbah Jumat hari itu telah dimulai. Khotbahnya berbahasa Arab. Hanya beberapa kalimat saja yang cukup familiar di telingaku, karena sering diucapkan para penceramah di Indonesia. Yang lain sama sekali tidak aku mengerti.

Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’inuhu wanastaghfiruhu wana’udzubillah min syururi anfusina wa min sayyiati a’malina.5

Takjubnya aku, wajah-wajah seluruh orang kelihatan sangat menghayati isi ceramah.
Usai Shalat Jumat, ritual sa’i aku lanjutkan, tinggal empat putaran lagi. Beberapa saat setelah aku mulai lari-lari kecil, handphone-ku bergetar. dr.Wahidin call
“Aisy, sekarang kamu dimana? Bu Nanik pingsan!” seru dr.Wahidin.
Aku kaget bukan main.
Bu Nanik pingsan.
“Sedang sa’i, Pak. Sebentar lagi selesai, kurang setengah putaran. Bapak sekarang dimana?” jawabku.
Aku berkata tergesa-gesa sekali.
“Di pintu 69. Cepat ke sini ya kalau sudah selesai.”
Bergegas aku menyelesaikan ritual sa’i. Berdoa sedikit tergesa pula. Kemudian mencari jalan keluar dan mengingat kembali ke arah mana harus pulang. Maklum, aku termasuk orang yang kurang teliti. Bisa-bisa tersasar. Biasanya Ibu Nanik-lah petunjuk jalan saat kami pergi ke Masjid Al-Haram. Tenangkan pikiran, lihat sekeliling.
Yaaak... ke kanan.
Bismillah...
Cukup lama aku mencari pintu yang dimaksud dr.Wahidin.
Ya Rabb, pertemukanlah hamba dengan Bu Nanik,” hatiku mulai meratap-ratap setelah tak kunjung menemukan pintu 69.
 Kususuri Masjid Al-Haram ke arah yang berlawanan dari arah Marwa. Penuh sesak dengan orang-orang dari seluruh dunia, ada yang sedang thawaf, duduk dan bertilawah, ada juga yang hanya berdiri sambil memandangi Ka’bah. Segera aku mencari celah untuk keluar.
Ya Rabb, bagaimana aku harus menemukan mereka?” aku meratap-ratap dalam hati lagi.
Aku tahu dari testimoni para jamaah haji, kejadian seseorang tersesat di dalam Masjid Al-Haram adalah hal yang sudah biasa. Masjid paling suci dan paling besar di dunia ini memang luar biasa luasnya, seluruh Kota Slawi mungkin muat kalau di jejalkan ke dalamnya. Dua juta manusia bisa tumplek blekdalam suatu waktu di sini, tak ada ampun bagi mereka yang kurang teliti.
Aku tahu dari internet kalau seluruh area Masjid Al-Haram memiliki 129 pintu masuk. Pintu paling besar dan paling favorit adalah Bab Al-Salam, tempat aku masuk tadi bersama dr.Wahidin dan Ibu Nanik. Pintu yang mengarah langsung ke Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Kabarnya kebarakahan terbesar jamaah jika bisa masuk melalui pintu tersebut.
Aku masih senewen mencari pintu bernomor 69. Sudah dua kali aku bolak-balik dari sisi Marwa, kemudian ke sisi Shafa. Sekarang aku akan melakukannya untuk yang ketiga kali. Aku bahkan tak bisa menemukan pintu paling besar dan paling barakah itu, Bab Al-Salam.
Ada apa ini?
Aku letih. Aku capek. Di tengah perjalanan, aku terduduk lunglai di satu barisan shaf yang mulai kosong. Aku menghadap Ka’bah.
Aku tahu dari guru mengajiku bahwa Allah menjanjikan seratus ribu kebaikan untuk satu kebaikan yang dikerjakan di dalam Masjid Al-Haram. Allah menjanjikan seratus ribu keridhaan untuk satu keridhaan yang dikerjakan.
Astaghfirullah!
Astaghfirullahal ‘adzim...
Aku makin lunglai. Aku merasa harus introspeksi. Aku takut, Allah juga akan membalas seratus ribu kali lipat untuk satu keburukan yang sempat aku lakukan.
Bukankah Allah adalah seadil-adil Dzat?
Air mataku menetes. Aku tak sanggup untuk tidak menangis.
Logika hukum keadilan memungkinkannya. Kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan. Aku menangis semakin tersedu.
Ya Allah, maafkan aku.
Maafkan atas segala kesalahan hamba-Mu yang nista ini.
Maafkan aku, Wahai Tuhan Yang Maha Pengampun.
Aku meratap-ratap makin menjadi-jadi.
Di tengah-tengah ratapanku yang semakin menjadi, suara yang tampaknya sudah kukenal mengerjapku.
“Assalamu ‘alaikum...”
Aku menengok ke arah suara. Itu pria Afrika hitam-legam yang kakinya kotor sekali. Suara salam itu bukan untukku, tapi untuk seseorang yang ia sapa. Namun aku menjawabnya dalam hati. Aku ingat pesan guru mengajiku, seseorang yang mendengar ucapan salam dari saudara seimannya ditimpa kewajiban menjawabnya. Ya, dia saudara seimanku, meskipun kulitnya tidak sama denganku.
Aku luluh. Tak sepantasnya aku meremehkan saudara seimanku, meskipun ia seorang pria hitam-legam dengan kaki kotor sekali.
Ia sedang mendesis-desis lagi ke arah seorang jamaah haji. Aku menghampiri mereka. Aku mengucapkan salam, sementara ia serta-merta berpaling ke arahku, kemudian berdiri menyambutku.
Masya Allah, dia tinggi sekali. Aku kira sudut deviasi yang terbentuk dari dongakan leherku bernilai cukup besar hingga aku yakin tingginya lebih dari dua meter. Sementara aku hanya satu setengah meter lebih sedikit. Aku yakin, leherku akan terasa pegal jika lima menit saja aku mengobrol dengannya sambil berdiri.
Aku langsung mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Aku kira, itu cara dua orang muslim bukan muhrim bersalaman. Pria hitam-legam itu juga melakukan hal yang sama.
“I’m so sory, Mister,” ucapku kemudian.
Dia mengerutkan dahi, kemudian menyeringai. Aku yakin, tampakan giginya yang kontras sekali warna putihnya di antara legam kulitnya menunjukkan ia sama sekali tak paham apa yang aku ucapkan. Ia hanya mendesis-desis tak menentu.
“I’m so sory, if I have any mistaken. Please, give me your appologize!”
Aku meratap-ratap. Artikulasi, gestur, dan mimik wajah aku buat seperti orang yang sedang meminta maaf. Kalaupun pria legam itu tak paham ucapanku, aku berharap ia paham gelagatku.
“I’m so sory, Mister.”
Aneh. Dia berhenti mendesis-desis. Ia menatapku, getas. Kemudian sedikit berucap, yang tentu aku tak paham, dan menaikkan jempol tangan kanannya ke arahku. Ia kemudian berlalu begitu saja.
Aku berdiri termangu mengamati punggung belakangnya.
Sedetik kemudian aku teringat aku masih harus mencari pintu 69. Ada getaran terasa dari handphone-ku. Dr.Wahidin mengirimiku pesan singkat.
Kamu dimana, Aisy?
Sesaat aku tak berniat sama sekali menjawabnya, aku hanya merasa plong setelah meminta maaf ke pria Afrika hitam-legam itu. Entah kenapa, naluriku membimbingku untuk melangkahkan kaki ke arah bukit Marwah.
Aku berhasil melihat Bab Al-Salam. Sementara aku terdampar di sebuah pintu bertuliskan besar-besar angka ٧١.
Masya Allah... itu pintu 71.
Alhamdulillah tinggal sedikit lagi, 70 dan 69.
Aku senang bukan main. Aku melangkah sangat tergesa. Dalam hati aku bersenandung atas kebaikan hati pria hitam-legam itu, yang mau memaafkan parodi hatiku yang sempat tercecer. Aku berterimakasih kepada pria hitam-legam itu. Aku berterimakasih kepada Allah. Aku berterimakasih atas pelajaran yang kudapat.
Itu dia Ibu Nanik dan dr.Wahidin.
Alhamdulillah, Ibu Nanik ternyata sudah sadar. Setelah meminum air zam-zam, kata dr.Wahidin, ia siuman. Sepertinya beliau telah kuat untuk bangkit dan memberanikan diri untuk berjalan pulang.
“Benar sanggup, Bu?” tanyaku.
Bu Nanik hanya mengangguk.
“Sebentar, ambil sandal dulu.”
Aku bergegas menuju loker sandal dan sepatu. Sejenak aku kasak-kusuk tak menentu. Aku merasa ada yang kurang. Astaghfirullah... sandalku tidak ada. Anehnya, sandal Ibu Nanik ada, padahal terletak pada satu kotak dengan sandalku. Aku menyusuri semua kotak, di atas, di bawah. Pun sandal-sandal yang ada di lantai. Subhanallah... betul-betul tidak ada!
Aku berusaha introspeksi diri kembali.
Ada apa lagi ini?
Aku bergegas ke arah Ibu Nanik dan dr.Wahidin.
“Ada apa, Aisy?” tanya dr.Wahidin.
“Aku tadi di dalam masjid dikerjani parodi hati yang ndak karuan. Aku sempat tersesat tadi.”
Ibu Nanik dan dr.Wahidin tampak sangat antusias mendengarkan curhatku.
“Tadi di dalam masjid aku sempat berburuk sangka kepada seorang muslim dari Afrika. Astaghfirullah.. tadi waktu aku mau nitip sandal ke loker aku juga sempat berburuk sangka. Cuma sedikit parodi hati saja, Allah langsung mengabulkan. Aku tersesat. Dan sekarang benar sandalku tidak ada, benar-benar hilang.”
Mereka berdua menyeringai.
 “Yah... sudah deh pulang yuk, Bu. Nikmati saja deh pulang hanya beralas kaos kaki.”
Ibu Nanik dan dr.Wahidin menyeringai kembali. Ibu Nanik tampaknya ingin mengatakan: sabar ya! Tapi tidak cukup harfiah. Dr.Wahidin pun tampaknya akan mengatakan hal yang sama.
“Mana kaos kakinya baru lagi,” aku masih menggerutu.
Sekarang gantian aku yang menyeringai ke arah mereka berdua.
“Ndak apa-apa wis, itung-itung pijat kaki gratis, hehehe...”
Kami bertiga terkekeh.
Waktu menunjukkan 14.00 WSA. Wuaaah... panas. Aku kira suhu saat itu lebih dari 60 derajat celcius. Untunglah kaki masih terasa biasa-biasa saja, meskipun hanya beralas kaos kaki. Aku lihat Ibu Nanik mulai limbung. Dr.Wahidin menyarankan agar kami berhenti dulu sebentar. Beliau semburat entah kemana.
Tak lama kemudian, dr.Wahidin datang membawa dua jus mangga, ayam, dan kentang goreng. Sepuluh menit kemudian, sebuah ambulance datang bersama perawat yang membawa kursi roda. Rupanya tadi dr.Wahidin menelepon ambulance sekaligus membeli makanan.
Sungguh baik hati dokter yang satu itu.
Tibalah kami di klinik emergency, sekira 500 meter dari Masjid Al-Haram, sekitar 200 meter dari tempat kami beristirahat tadi.
Segera Ibu Nanik berbaring. Perawat memasukkan termometer ke mulut beliau. Masya Allah, 40 derajat celcius. Perawat kemudian mengambil sampel darah. Klinik yang canggih. Ada alat untuk mendeteksi gula darah dan kolesterol dalam satu tetes darah. Perawat kemudian memintaku memasangkan berlembar-lembar kapas yang dibasahi air zam-zam di kaki, tangan, dan perut beliau agar panasnya cepat turun.
Tak lama kemudian dokter klinik datang, memeriksa keadaan beliau. Si dokter berkata kepadaku dan dr.Wahidin, dengan bahasa Inggris, bukan bahasa Arab. Si dokter tampaknya cukup fasih berbahasa Inggris. Kata beliau, gula darah dan kolesterolnya normal. Tinggal menunggu panasnya reda saja.
“Has she take eat any ransom?” tanya si dokter kemudian.
“Hasn’t yet,” jawab dr.Wahidin efektif.
“She should not be late taking her ransom,” lanjut si dokter, “you’ve to determinate it, okey.”
“Okey, doctor.”
Dan beliau meninggalkan kami.
Adzan berkumandang. Sembari menunggu panas Bu Nanik turun, saya Shalat Ashar. Semua dokter dan perawat segera mengambil sajadah mereka dan menempatkan diri di pelataran masjid. Begitulah semua aktivitas berhenti saat waktu shalat tiba.
Alhamdulillah suhu tubuh Bu Nanik akhirnya turun. Sudah reda. Termometer dipasang kembali, darah diambil lagi. Semua normal. Dokter klinik menyatakan Bu Nanik sudah sehat. Pukul 16.30 WSA kami melanjutkan perjalanan pulang menuju maktab. Dalam hati aku bersyukur, ujian ini telah berhasil kami lewati. Dan yang jelas, Alhamdulillah, kakiku tidak kepanasan saat perjalanan pulang.

-------

AKU MASIH tercenung di atas ranjang tidurku. Aku merasa beruntung sekali bisa menunaikan rukun Islam kelima ini.
Dari dulu, selalu ada pusaran energi setiap kulafalkan Talbiyah6. Bergetar pula hatiku setiap kali mendengar lantunannya. Ada rasa haru yang menderu. Ada kerinduan yang membuncah. Aku datang,Ya Rabb, memenuhi panggilan-Mu. Aku menangis. Aku tak menyangka aku yang hina ini bisa datang ke rumah-Mu. Berdiri memenuhi panggilan-Mu di tanah suci. Cukup menyentak kalbu, aku yang dina ini dipatutkan meraih kesucian Tanah Haram.
Dalam sebuah hadits, diperkenankan seseorang memberi syafaat kepada orang lain, ketika ia memiliki kesempatan. Misalnya kesempatan lebih dekat kepada Allah ketika berhaji di Tanah Haram. Oleh karena itu, teman-teman, keluarga, dan sanak famili menitip doa kepadaku, yang punya hajat menitip pesan agar aku mendoakan mereka.

Barangsiapa datang berhaji semata-mata karena Allah, diampuni segala dosa yang telah diperbuatnya dan memberi syafaat bagi orang yang didoakannya.7

Tanah Haram adalah tempat paling dekat dengan Allah, sementara segala doa dan prasangka telah dimodul sedemikian rupa dalam paket express expedition. Sedikit saja krenteg, langsung diijabah. Pengalamanku benar-benar telah mengorfirmasinya. Jangan sekali-kali membuat parodi hati macam-macam di Tanah Haram.
Selain kejadian yang tidak cukup mengenakkan di Masjid Al-Haram tempo hari, pernah juga aku mengalami kejadian yang sedikit mengenakkan. Suatu ketika aku berangkat menuju Masjid Al-Haram dari pemondokan. Kala itu pukul lima sore waktu setempat. Aku sangat tergesa-gesa hingga aku lupa membawa perbekalan air minum. Di tengah perjalanan aku haus sekali. Aku berjalan kaki lebih-kurang satu kilometer. Seketika aku berdoa dalam hati. Dengan penuh keyakinan, aku berharap ada orang yang memberiku air minum.
Jreng jreng... tak berapa lama, ada dua anak kecil mengeluarkan berbungkus-bungkus paket makanan berisi air mineral, snack dan buah apel. Kebiasaan orang kaya di Saudi Arabia saat musim haji adalah membagikan makanan dan minuman kepada jamaah haji. Doaku diijabah dalam kesempatan dan waktu yang sangat klik, presisi, sesaat setelah aku dipertemukan dengan dua anak kecil itu.
Sontak, aku pun menengadahkan tangan, bersyukur kepada-Nya.


Ya, Allah, betapa dekat Engkau di Tanah Haram ini.
Terimakasih Ya Allah, Tuhan yang Maha Memberi Rezeki.
Alhamdulillah, Engkau tidak membiarkan dahagaku mengurat. 

Aku sadar, haji adalah momentum terbaik untuk bermuhasabah8, momentum terbaik untuk merenungkan diri sendiri. Mencari tahu dan menyelami seberapa hina diri, seberapa kuat amal yang telah aku perbuat. Dan yang terpenting, mengukur seberapa besarkah kadar ikhlas dalam amalan-amalan itu.
Haji adalah ujian kesabaran dan keikhlasan. Aku bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku blank mengenai karakter dan tradisi mereka. Mau tidak mau, aku harus coba berinteraksi karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Aku membutuhkan mereka. Kami saling membutuhkan.
Aku sadar, suatu waktu harus menemui kekurangan orang lain, menemui ketidakenakan, menemui kesakithatian, kesedihan, dan kemarahan. Meskipun demikian, aku kira semua benang merahnya hanya satu, yakni agar semua itu menjadi bahan pelajaran, menjadikan aku bersyukur atas kekuasaan Allah yang telah menciptakan begitu banyak karakter manusia. Dan membuat aku semakin bersyukur dengan hidupku[]


Catatan Kaki:

1 – Penginapan jamaah haji.
2 – Perasaan ingin sesuatu yang terbersit dalam hati (Bahasa Tegal).
3 – Waktu Saudi Arabia.
4 – Pintu Masjid Al-Haram paling populer dan favorit bagi jamaah haji.
5 – Awalan khotbah Jumat yang berisi hamdalah.
6 – Dzikir yang diulang-ulang ketika mengenakan pakaian ihram.
7 – Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al Ansyari.
8 – Merenung.