#Berani-Percaya Diri-Rendah Hati#
Apa yang ada di benakmu mengenai
sosok seorang kakek? Menemanimu saat bermain dan belajar? Menceritakan dongeng
atau kisah perjuangan? Diskusi mengenai makna hidup? Hmm, mungkin idealnya
seperti itu. Namun, aku belum pernah merasakan hal yang demikian. Pasalnya ayah
dari ibuku telah meninggal sebelum ibuku menikah. Ayah bapakku meninggal di
saat aku masih kecil. Setidaknya aku pernah melihat sosok kakek dan merasakan
mempunyai kakek. Tidak ada kenangan indah bercengkrama bersama kakek, hanya
sebatas bertemu, salam dan mencium tangannya kala bersilaturahim ke rumah
beliau. Maklum, aku cucu ke sekian dari bapakku yang anak kelima dari sembilan
bersaudara. Kata bapak, kakekku adalah seorang veteran perang. Sebenarnya aku
ingin mendengar sendiri seperti apakah kisah perjuangan melawan penjajah dari
mulut kakekku sendiri, namun apa daya kakekku sudah sangat tua dan
sakit-sakitan. Kami sekeluarga memanggil beliau dengan sebutan Mbah Kakung.
Baru-baru ini, aku menemukan
sosok Mbah Kakung yang seperti di
dalam benakku. Sosok kakek yang menceritakan kisah hidupnya, mengajariku
tentang makna hidup dan arti sebuah perjuangan. Bahkan beliau menginspirasiku
untuk selalu menuliskan setiap peristiwa yang dialami. Ada yang bisa menebak?
Ya betul! Beliau adalah SN. Ratmana. Seorang saksi sejarah sekaligus penulis
yang produktif meskipun di masa tua.
Menjadi penulis besar yang
tulisannya dibaca banyak orang, menginspirasi dan mampu mengubah dunia
merupakan cita-cita bagi sebagian orang. Termasuk diriku. Namun untuk menjadi
seorang penulis yang idealis itu, tentu membutuhkan banyak jam terbang. Tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Butuh latihan berulang, terus menerus,
setiap hari harus menulis.
Namun, ada rasa yang tidak kalah
menyenangkan ketika membantu seorang Penulis besar yang karyanya diakui secara
nasional, sastrawan era 60-an yang saat ini berumur 76 tahun. Beliau adalah SN
Ratmana. Kebetulan rumah beliau masih satu kelurahan dengan tempat tinggalku.
Beliau juga menjadi salah satu Pembina di organisasi Kepenulisan di Tegal.
Sebuah wujud bakti dan penghargaan generasi muda atas karya-karya beliau di
masa lampau.
Tren industri penerbitan saat ini
tentu berbeda dengan tren penerbitan di kala beliau masih muda. Tren saat ini
seputar tulisan catatan perjalanan seperti karya-karya Triniti, percintaan
religi yang digaungi Ayat-ayat Cinta karya Habiburahman El Shirazi dan novel
motivasi yang diawali oleh Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi. Tulisan beliau
yang terakhir yang dirampungkan tahun 2009 harus kandas gagal terbit pada salah
satu penerbit besar. Harapan untuk menerbitkan buku di kala umur beliau sudah
tidak muda lagi, pandangan pun sudah mulai kabur apalagi ditambah ingatan yang
mulai memudar tentu menjadi sebuah kebahagiaan yang tak terkira rasanya. Mencontoh pola penerbitan Indie yang telah
dilakukan FLP Tegal lewat Kumpulan Cerpen “Akulah Pencuri Itu”, SN. Ratmana
berminat melakukan hal yang sama pada naskahnya yang berjudul “Lolong, Lelaki
Lansia”. Naskah ini terdiri dari sebuah Novelet yang berlatar belakang di
sebuah desa di Kabupaten Pekalongan bernama desa Lolong pada era 1940-an dan
sepuluh cerpen yang berkisah tentang potret kehidupan seorang lelaki tua dengan
segala suka dukanya.
Sosok Mbah Kakung yang satu ini begitu menginspirasiku untuk terus
mencatat setiap peristiwa yang dialami. Bisa jadi suatu saat catatan peristiwa
itu akan bermanfaat di masa depan dan menjadi sebuah pelajaran yang berharga
bagi anak cucu. Peristiwa yang dituliskan tentu akan lebih abadi daripada hanya
sekedar diceritakan saja. Maka, menemani beliau berkunjung menemuni Kepala
Dinas Pendidikan Kota Tegal yang mantan murid beliau, bersama beberapa teman
juga menghadiri audiensi Pemerintah Kota Tegal yang diwakili oleh Wakil Walikota
Tegal, Habib Ali Zaenal pun aku lakukan dengan senang hati. Meski, di
tengah-tengah kesibukan kami belajar dan bekerja. Cara belajar yang paling baik
kepada seorang penulis besar ini adalah dengan mengikuti pola hidup beliau. Energi
dan semangat juang beliau secara tidak langsung akan tertransfer menjalar pada
pikiran dan hatiku.
Semoga suatu saat nanti aku dapat
menjadi penulis yang mencerahkan yang menuliskan setiap peristiwa dengan cara
yang khas.
Semarang, 27 Maret 2012
Kado spesial untuk Milad Mbah SN. Ratmana ke-76 (6 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar